Opini : L1News
Fenomena enggan menolong korban kecelakaan masih sering kita jumpai di berbagai tempat. Ketika terjadi insiden lalu lintas—baik melibatkan kendaraan roda dua maupun roda empat—tidak sedikit masyarakat yang hanya berdiri mengerumuni, bahkan sibuk merekam kejadian, sementara korban tergeletak kritis tanpa pertolongan cepat. Pertanyaannya, mengapa masyarakat cenderung ragu turun tangan, bahkan untuk sekadar membawa korban ke rumah sakit?
Takut Disalahkan, Ketakutan yang Banyak Menjerat Warga
Salah satu alasan paling umum adalah ketakutan akan disalahkan. Banyak warga khawatir jika mereka mengangkat atau membawa korban ke rumah sakit, mereka justru dituduh sebagai pelaku kecelakaan. Ada pula kekhawatiran dimintai pertanggungjawaban secara hukum atau biaya pengobatan, padahal mereka hanya berniat membantu. Kekhawatiran semacam ini memang muncul akibat kurangnya pemahaman masyarakat tentang aturan pertolongan pertama dan perlindungan terhadap penolong.
Padahal, dalam prinsip kemanusiaan—bahkan dalam beberapa payung hukum—niat baik untuk menolong dengan benar bukanlah hal yang dapat begitu saja dipersalahkan. Di banyak negara, termasuk di Indonesia, masyarakat yang memberikan bantuan darurat tanpa unsur kelalaian umumnya dilindungi secara moral dan sosial.
Cepat Menolong Sangat Penting: Golden Hour Menentukan Nyawa
Dalam kecelakaan lalu lintas, ada istilah yang dikenal sebagai “golden hour”, yakni satu jam pertama setelah insiden terjadi. Pada fase ini, peluang korban untuk selamat sangat bergantung pada kecepatan penanganan dan pertolongan pertama. Keterlambatan membawa korban ke fasilitas kesehatan dapat memperburuk kondisi dan mengancam nyawa.
Sayangnya, ketakutan disalahkan sering membuat masyarakat lebih memilih menjadi penonton pasif. Dalam banyak kasus, korban justru tergeletak terlalu lama, padahal hanya membutuhkan tindakan sederhana seperti menghentikan perdarahan, menjaga jalan napas, atau segera dibawa ke rumah sakit.
Apa Langkah yang Tepat Ketika Melihat Korban Kecelakaan?
Untuk menghindari kesalahan dan memastikan pertolongan yang aman, berikut langkah yang disarankan:
1. Pastikan keselamatan lokasi.
Jangan langsung mendekat sebelum memastikan tidak ada bahaya lanjutan seperti kendaraan lain, tumpahan bensin, atau kabel listrik.
2. Panggil bantuan sesegera mungkin.
Hubungi 112, 119, polisi, atau layanan darurat setempat. Sebutkan lokasi, jumlah korban, dan kondisi yang terlihat.
3. Jangan memindahkan korban secara sembarangan.
Kecuali ada ancaman langsung (kebakaran, ledakan, atau korban berada di tengah jalan yang berisiko ditabrak), hindari memindahkan korban jika Anda tidak memiliki pengetahuan P3K.
4. Berikan pertolongan pertama yang aman.
Hentikan pendarahan dengan menekan luka menggunakan kain.
Bantu menjaga korban tetap sadar.
Jangan memberikan minum, terutama jika korban tidak sadar.
5. Alihkan kerumunan dan hentikan aktivitas merekam.
Memvideokan korban kecelakaan tanpa izin bukan hanya tidak etis, tetapi juga menghambat penyelamatan.
6. Jika harus membawa ke rumah sakit, lakukan bersama-sama.
Mintalah saksi lain untuk turut mendampingi agar tidak ada salah paham, serta dokumentasikan (dengan bijak) bahwa Anda menolong korban, bukan pelaku.
Kita Harus Mengubah Kebiasaan: Dari Penonton Menjadi Penolong
Masyarakat perlu diedukasi bahwa menolong adalah tindakan mulia dan sangat menentukan keselamatan korban. Ketakutan disalahkan seharusnya tidak menjadi alasan untuk membiarkan seseorang kehilangan nyawanya. Edukasi P3K, pelatihan respon darurat, serta sosialisasi hukum terkait perlindungan penolong perlu terus ditingkatkan.
Membantu bukan berarti mengambil posisi sebagai pelaku. Membantu adalah tanggung jawab moral sebagai sesama manusia.
Karena pada akhirnya:
Nyawa manusia tidak bisa menunggu kerumunan bercerai atau kamera berhenti merekam. Nyawa harus segera diselamatkan.

Posting Komentar