LAMPUNG1NEWS | PRINGSEWU – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PWRI Pringsewu akhirnya angkat bicara soal penangkapan Ketua Umum Gerakan Pembangunan Anti Korupsi (GEPAK) Lampung, Wahyudi, oleh jajaran kepolisian. Sekretaris LBH PWRI Pringsewu, Surohman S.H, menegaskan bahwa kasus ini tidak boleh dilihat sepotong-sepotong, karena menyangkut hak konstitusional warga negara dan ruang demokrasi di Indonesia.
“Kalau benar ada dugaan jebakan dengan skema uang damai sebagaimana disebutkan dalam klarifikasi Wahyudi, ini sangat berbahaya. Bisa menjadi preseden buruk terhadap demokrasi, semangat kritis LSM, Ormas, bahkan pers dalam menjalankan fungsi kontrol sosial,” tegas Surohman, Selasa (23/9/2025).
Ia menjelaskan, memang benar bahwa dalam praktiknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) bisa dilakukan tanpa surat penangkapan sebagaimana diatur dalam KUHAP, karena tertangkap tangan merupakan keadaan yang dikecualikan. Namun demikian, ia mengingatkan agar mekanisme OTT tidak dijadikan alat jebakan.
“OTT itu memang boleh tanpa surat penangkapan, tapi harus murni, jangan sampai ada drama jebakan. Dari klarifikasi Wahyudi, justru terlihat pihak pemberi yang mencari-cari dan memburu. Ini harus diklarifikasi secara tuntas,” ujarnya.
Lebih lanjut, Surohman menekankan bahwa aparat penegak hukum harus bekerja objektif, transparan, dan profesional. Polisi wajib memastikan tidak ada kriminalisasi maupun abuse of power yang dapat merusak wajah demokrasi.
“Dalam hukum pidana, dikenal asas due process of law. Semua pihak harus diperlakukan sama di depan hukum. Kalau ada dugaan suap, maka pemberi dan penerima sama-sama harus diperiksa, sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Jangan sampai hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas,” tegasnya.
Surohman juga mengingatkan dasar hukum penting lainnya:
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: persamaan kedudukan di depan hukum.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: hak atas perlindungan hukum yang adil.
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas: fungsi Ormas/LSM sebagai kontrol sosial.
Pasal 55 KUHP: penyertaan, artinya pemberi maupun penerima harus diperiksa.
“Setiap perkara harus dilihat dari dua sisi (audi et alteram partem). Jangan hanya satu versi yang dijadikan dasar, karena itu menyalahi prinsip keadilan. Polisi harus memastikan tidak ada pembungkaman terhadap suara kritis masyarakat sipil. Ini bukan sekadar soal Wahyudi, tapi soal keberlangsungan ruang demokrasi di Lampung,” pungkas Surohman.
📌 Sumber Hukum: UUD 1945, KUHAP Pasal 17–18, KUHP Pasal 55, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
#GEPAK #OTT #LBHPWRI #SuaraKritis #AntiKorupsi #PoldaLampung #Kriminalisasi #HukumAdil #KontrolSosial
Posting Komentar